Kesan saya yang paling menarik selama belajar di SMA Don Bosco pada waktu tur ke Sawahlunto awal tahun 1965. Wah, kita pergi ramai-ramai bersama teman-teman untuk mengunjungi tambang batu bara dan pembangkit tenaga listrik.
dr. Erlina Sutjiadi (Tjia Giok Lin), alumni 1966
Pakai Sendal Jepit Dikalungi Bunga
Motivasi saya main basket waktu itu karena senang (hobi). Kami tidak pernah berantem, semuanya kompak. Saya senang olah raga. Saya bisa membagi waktu: kalau waktunya belajar yah belajar sedangkan waktu berlatih yah berlatih, tidak sampai pelajaran ketinggalan gara-gara main basket. Kalau ada ulangan yang ketinggalan, guru mengadakan ulangan susulan untuk kita.
Setiap ada ujian kami dari tim basket diberi ujian ekstra. Frater Servaas sangat mendukung kegiatan kami.
Pada waktu kelas dua (1965), kami dari klub Heng Yu dan beberapa pemain lain sebagai pemain inti ikut bertanding tingkat
Dulu kami latihan di Paldam Muara dibantu Pak A. Soejono yang waktu itu Ketua PERBASI dan ikut melatih kami.
Guru yang mendampingi kami Bapak Sofyanto dan tentunya didukung Frater Servaas yang ikut ke
Kami menginap di Kompleks Senayan.
Frater juga merasa bangga apalagi alumni SMA Don Bosco di Jakarta semua membantu baik moril maupun materil. Tidak disangka kami bisa juara padahal kami main apa adanya. Dulu tidak terpikir kami bisa menang di tingkat nasional.
Setelah turun dari kapal menuju sekolah, kami disambut dengan tepuk tangan. Tentunya kami kaget melihat sambutan meriah dengan kalungan bunga. Kami tidak mempunyai persiapan apa-apa dan hanya memakai sandal jepit. Sebetulnya kami malu, tiba-tiba dikalungi kembang, disambut teman-teman. Acara itu diadakan pada waktu jam sekolah.
Setelah tiba di Don Bosco kami disambut lagi dengan suasana yang begitu meriah yang sempat lagi membuat kami kaget. Rombongan yang baru tiba beberapa kali difoto.Kemudian semua pemain termasuk juga Frater Servaas dikalungi bunga oleh Uskup Raimondo Bergamin, SX.. Pada hal waktu itu kami hanya memakai sandal jepit dan mengenakan baju dan rok biasa. Tidak ada yang memakai kostum pemain.
Yulina (Lim Beng Gwek), alumni 1966
Ketika sekolah di SLTP Negeri, saya pernah menyaksikan sebuah SMA Negeri yang anak-anaknya suka berciuman, memakai baju dan rok yang ketat-ketat. Nah, sejak itulah saya ingin sekolah yang baik. Waktu itu hanya SMA Don Bosco yang menggunakan seragam baju (blus) putih. Maka dalam hati kecil saya ingin sekali sekolah di
Waktu itu saya bukan dari keluarga yang berada bahkan untuk membeli baju putih saya harus mengumpulkan uang. Testing dilaksanakan di dalam aula dan dijaga oleh beberapa pengawas.
Saya masih ingat suasana tes yang ketat dan disiplin. Kalau belum ada aba-aba mulai tidak boleh membuka lembaran soal. Demikian juga aba-aba selesai, harus berhenti walaupun belum selesai, lalu meletakkan tangan di bawah dagu.
Namun saya lebih cepat selesai dan diam-diam mengerjakan soal lembaran berikutnya tanpa diketahui pengawas, termasuk Frater Servaas yang duduk di pentas memberi aba-aba. Begitu Frater Servaas berkata, “Mulai lembar kedua !”, ternyata saya sudah mengerjakan sampai soal nomor 15 dan seterusnya.
Semua soal bisa saya jawab dan ternyata lulus. Saya diterima di sekolah ini tanpa adanya koneksi. Saya merasa puas karena SMA Don Bosco membuat kita menjadi pelajar yang siap menjawab pertanyaan setiap saat. .
Kesan yang menarik lagi waktu baru masuk, rambut saya panjang. Pak Sofyanto setiap kali memberi pertanyaan sekalu memegang rambut saya sambil berkata: “rumus pithagoras !”. Jika gagap atau tidak bisa menjawab rambut saya ditarik. Makanya pada setiap pelajaran Pak Sofyanto, saya harus selalu siap.
Suatu hari ada ujian ekonomi, maka otomatis kami belajar ekonomi. Tanpa diduga hari itu Pak Sofyanto berkata, “Keluarkan satu lembar kertas”. Kami berkata, “Pak jangan sekarang, karena hari ini kita ada ujian ekonomi, besok dong Pak”.
Memang Pak Sofyanto tidak pernah memberi tahu kapan ujian. Namun waktu itu saya mendapatkan nilai yang bagus karena saya selalu siap. Pernah kejadian, karena hasil ujian jelek ada yang mempunyai ide cemerlang yaitu mengerjakannya lagi di kertas yang baru tetapi disalah-salahkan sedikit, supaya tidak ada kecurigaan. Lalu masuk ke kamar Pak Sofyanto mengambil kertas yang lama dan menggantinya dengan kertas yang baru. Masuk ke kamar guru memang sudah biasa karena sudah akrab bahkan sampai sekarang kita masih akrab.
Masa di SMA adalah masa yang indah.
Farida Hakim, alumni 1966
Angkut Buku dari
Sebagai mantan Ketua Olah Raga Ikatan Siswa/i Don Bosco (ISDB), kenangan yang masih membekas ketika masa jayanya olah raga terutama basket putri yang berhasil menggondol juara nasional (1965).
Olah raga bisa membentuk pribadi kita. Disamping olah raga saya terkesan dengan acara kesenian dalam krida tiap kelas, di mana semua guru berperan aktif, meskipun tidak bekecimpung langsung dalam kegiatan seni. Selama di SMA Don Bosco, kita cukup happy-happy. Saya pernah menjabat Ketua ISDB (1964-1965).
Hubungan guru, murid dengan kepala sekolah akrab sekali, juga antar kawan-kawan kompak sekali. Kalau kita memberi rencana program kerja biasanya Frater Servaas mendukung.
Satu hal lagi yang menggembirakan sekali ketika tim basket putri bertanding ke
Ibarat sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, Fr Servaas yang memimpin rombongan tim putri basket juga memanfaatkan kesempatan mencari donatur yang tidak lain adalah mantan muridnya sendiri untuk membeli buku-buku pelajaran.
Buku-buku pelajaran yang dibeli beberapa kodi itu dibawa pulang. Kami pulang dengan kapal laut Yang laki-laki disuruh mengangkut buku-buku itu ke kapal. Nasional.
Yang cukup terkesan, kedatangan tim basket putri disambut meriah di sekolah. Ikut menyambut Uskup Raimondo Bergamin, SX. Semua mereka dikalungi bunga, umumnya tim basket kita menang karena kompak, bisa kerja sama dan memiliki semangat juang yang tinggi.
Indra Budiman (Lim Soei Hin), alumni 1966
Salah satu ciri khas Pak Sofyanto mengajar selalu ditemani mistar (penggaris) panjang yang cukup “menakutkan”. Pasalnya mistar panjang itu bisa melayang ke pantat siswa kalau disuruh maju ke depan kelas tidak bisa menjawab soal. Juga tak ketinggalan, matanya yang suka melotot dan marah-marah, tetapi kalau di luar kelas beda.
Bukan mistar saja yang membuat bulu roma berdiri, juga cubitan tangan yang biasanya di bagian bahu. Namun gertakan itu membawa hikmah terutama bagi yang pernah menikmatinya.
Lain halnya dengan Ibu Asni yang waktu itu mengajar kelas 2 dan 3. Sayangnya jarang senyum, dan agak kaku meskipun sebenarnya orangnya baik, cara mengajarnya cukup bagus, sehingga kalau ada anak-anak yang malas jadi takut dan membuat anak tersebut menjadi rajin (mengerjakan PR) dan belajar serta hasilnya jadi lumayan. Sayang, pembawaannya begitu kaku di dalam kelas sehingga kadang-kadang di luar kelas anak-anak ragu-ragu menegur.
Machinizam Machnin, alumni 1966
Ketika pertama kali datang di SMA Don Bosco, siswa-siswa kelas 1 sedang berkumpul di aula.
Lain lagi cerita ketika di kelas III Pal, suatu hari tiba-tiba ada suara “lalat” mendengung-dengung dari bangku belakang. Seorang guru bahasa Inggris bingung mencari asal usul suara sambil tangannya bergerak seperti mengusir-ngusir lalat. Ternyata itu suara saya dan kawan-kawan yang hingga sekarang masih rahasia. Kadang-kadang kalau dipikir-pikir, masa anak-anak ngerjain orang tua (guru).
Suatu kesan lagi. saya dan kawan-kawan sering mempermainkan teman yang rambutnya disisir licin, sehingga diberi judul “pendekar berambut licin” .
Nurzan Winardi, alumni 1966
Masih tentang disiplin keras Frater Servaas.
Berbeda dengan jaman sekarang, buku-buku pelajaran tiap tahun berganti. Sayangnya saya hanya bisa mengenyam sampai pertengahan kelas 2 di SMA Don Bosco dan setelah itu pindah ke Bukittinggi.
Sugestie Abbas A, angkatan 1964
Tidak ada komentar:
Posting Komentar